PACASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Paham kebangsaan secara
fundamental diawali perintisan Boedi Oetomo (1908), gerakan-gerakan pemuda
seperti Jong Java dan sebagainya (1920), Pemuda Indonesia (1925) kemudian
disusul Sumpah Pemuda (1928).Sudah semenjak lahirnya paham kebangsaan bukanlah
cetusan tekad para pejuang bangsa, melainkan strategi yang kelak menjadi
ideologi perjuangan untuk merdeka.
1.1.Rumusan Masalah
Untuk menghidari adanya
kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis membatasi masalah-masalah
yang akan di bahas diantaranya:
a.
Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara?
b.
Makna Revitalisasi Pancasila Sebagai Dasar
Negara Indonesia?
1.2. Tujuan
Penulisan
Dalam penyusunan Makalah ini,
penulis mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
a.
Penulis ingin mengetahui Perkembangan Pancasila
Sebagai Dasar Negara Pada hakikatnya, Pancasila mempunyai dua fungsi yaitu
sebagai pandangan hidup dan sebagai dasar negara oleh sebab itu penulis ingin
menjabarkan keduanya.
b.
Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak kelahirannya (1 Juni 1945) Pancasila adalah Dasar Falsafah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, atau lebih dikenal sebagai Dasar Negara
(Philosofische groundslag). Hal ini, dapat diketahui pada saat Soekarno diminta
ketua Dokuritsu zyunbi Tyoosakai untuk berbicara di depan sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 1 Juni 1945,
menegaskan bahwa beliau akan memaparkan dasar negara merdeka, sesuai dengan
permintaan ketua. Menurut Soekarno, pembicaraan-pembicaraan terdahulu belum
menyampaikan dasar Indonesia Merdeka. Bahkan Soekarno menyatakan :
Pada bagian pidato berikutnya, Soekarno menyatakan, bahwa Philosofische
Groundslag diatas mana kita mendirikan negara Indonesia, tidak lain adalah
Waltanschauung. Bahkan Soekarno lebih menegaskan lagi Waltanschauung yang kita
harapkan tidak lain adalah persatuan philosofische graoundslag. Untuk itu
Soekarno menegaskan sebagai berikut :
Apakah itu ? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya : apakah kita
hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan
? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saya Indonesia Merdeka,
tetapi hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan pada satu
golongan yang kaya, untuk memberi pada satu golongan bangsawan ? Apakah maksud
kita begitu ? Sudah tentu ! Baik saudara –saudara yang bernama kaum kebangsaan
yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah
mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak
mendidikan suatu negara “semua buat semua” Bukan buat satu orang, bukan buat
satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi “semau
buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang akan saya kupas lagi. Maka,
yang selalu mendengung di salam saya punya jiwa, bukan saja didalam beberapa
hari didalam sidang Dokuritsu zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun
1981, 25 tahun lebih, ialah : dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat
negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan”. (sekretariat negara, 1995 : 71)
Paparan berikut Soekarno menyatakan filosofische principe yang kedua adalah
internasionalisme. Pada saat menegaskan pengertian internasionalisme, Soekarno
menyatakan bahwa internasionalisme bukanlah berarti kosmopolitisme, yang
menolak adanya kebangsaan, bahkan beliau menegaskan :
“Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar didalam
buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup
dalam taman sarinya internasionalisme. “Seraya mengutip ucapan Gandhi, beliau
menegaskan my nasionalisme is humanity. Pada saat menjelaskan prinsip dasar
ketiga, Soekarno menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara “Semua buat
semua, satu buat semua, semua buat satu”, oleh karenanya saya yakin bahwa
syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan
perwakilan. Demikian berikutnya untuk prinsip dasar yang keempat Soekarno
mengusulkan prinsip kesejahteraan ialah prinsip tidak akan ada kemiskinan
didalam Indonesia merdeka. Prinsip dasar kelima adalah prinsip Indonesia
merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada kesempatan itu,
Soekarno menjelaskan :
Prinsip-prinsip filsafati Pancasila sejak awal kelahirannya diusulkan
sebagai dasar negara (philosofische grondslag, Weltanschauung) Republik
Indonesia, yang kemudian diberi status (kedudukan) yang tegas dan jelas dalam
alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945 dalam sidang
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
2.1. Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara
Generasi Soekarno-Hatta telah mampu menunjukkan keluasan dan kedalaman
wawasannya, dan dengan ketajaman intelektualnya telah berhasil merumuskan
gagasan-gagasan vital sebagaimana dicantumkan didalam pembukaan UUD 1945,
dimana Pancasila sebagai dasar negara ditegaskan dalam satu kesatuan integral
dan integratif. Oleh karena itu para tokoh menyatakan bahwa Pembukaan
Undang-Undang 1945 merupakan sebuah dokumen kemanusiaan yang terbesar dalam
sejarah kontemporer setelah American Declaration of Independent 1976. Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 nyaris sempurna, dengan nilai-nilai luhur yang
bersifat universal, oleh karenanya Pancasila merupakan dasar yang kekal dan
abadi bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945),
Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah
bangsa Indonesia (Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan
Pancasila sebagai dasar negara dalam tiga tahap yaitu : (1) tahap 1945-1968
sebagai tahap politis, (2) tahap 1969-1994 sebagai tahap pembangunan ekonomi,
dan (3) tahap 1995-2020 sebagai tahap repositioning Pancasila. Penahapan ini
memang tampak berbeda lazimnya para pakar hukum ketatanegaraan melakukan
penahapan perkembangan Pancasila Dasar Negara yaitu : (1) 1945-1949 masa
Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama ; (2) 1949-1950 masa konstitusi RIS ; (3)
1950-1959 masa UUDS 1950 ; (4) 1959-1965 masa orde lama ; (5) 1966-1998 masa
orde baru dan (6) 1998-sekarang masa reformasi. Hal ini patut dipahami, karena
adanya perbedaan pendekatan, yaitu dari segi politik dan dari segi hukum.
Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi
Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna Pancasila harus diletakkan
dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada
dimensi-dimensi yang melekat padanya yaitu :
Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya dikonkritisasikan
sebagai ceminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,
suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat “sein
im sollen dan sollen im sein”
Idealitasnya bahwa idelisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar
utopi tanpa makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk
membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari
depan secara prospektif menuju hari esok yang lebih baik.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah
selesai dan mendeg dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi
tafsi-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang,
dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap
aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan
bangsa dan negara dengan jiwa semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Reposisi Pancasila sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan dan
pengembangan moral, sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah
untuk mengatasi krisis dan disintegrasi. Moralitas Pancasila harus disertai
penegakkan (supremasi) hukum.
2.2. Peranan Pancasila Di Era Reformasi
2.2.1.
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi
kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar
negara ia sebagai landasa kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berarti, bahwa
setiap gerak langkah bangsa dan negara Indonesia harus selalu dilandasi oleh
sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai negara hukum setiap perbuatan,
baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan
harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam
kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya.
Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila Pancasila. Sekurang-kurangnya, substansi produk hukumnya tidak
bertentangan dengan sila-sila Pancasila.
2.2.2.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
nasional bidang sosial politik
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung
arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di
implementasikan sbb :
a.
Penerapan
dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi
dalam pemgambilan keputusan ;
c.
Melaksanakan
keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep
mempertahankan kesatuan ;
d.
Dalam
pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang
adil dan beradab ;
e.
Tidak
dapat tidak, nilai-nilai keadilan, kejujuran (yang menghasilkan) dan toleransi
bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.
2.3. Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara
Jepang menjanjikan kemerdekaan
Indonesia di kemudian hari melalui pembentukan BPUPKI dan PPKI. Generasi
Soekarno-Hatta menunjukan ketajaman intelektual dengan merumuskan gagasan vital
seperti yang tercantum di Pembukaan UUD 1045 dimana Pancasila ditegaskan
sebagai kesatuan integral dan integratif. Prof. Notonagoro sampai menyatakan
Pembukaan UUD 1945 adalah dokomen kemanusiaan terbesar setelah American
Declaratiom of Independence (1776).
Isi Pembukaan UUD 1945 adalah
nilai-nilai luhur yang universal sehingga Pancasila di dalamnya merupakan dasar
yang kekal dan abadi bagi kehidupan bangsa. Gagasan vital yang menjadi isi
Pancasila sebagai dasar negara merupakan jawaban kepribadian bangsa sehingga
dalam kualitas awalnya Pancasila merupakan dasar negara, tetapi dalam perkembngannya
menjadi ideologi dari berbagai kegiatan yang berimplikasi positif atau negatif. Pancasila bertolak belakang dengan
kapitalisme ataupun komunisme. Pancasila justru merombak realitas
keterbelakangan yang diwariskan Belanda dan Jepang untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur. Pancasila sudah berkembang menjadi berbagai tahap semenjak
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu
:
1.
Tahun 1945-1948 merupakan tahap politis.
Orientasi Pancasila diarahkan pada nation and character building. Semangat perstuan
dikobarkan demi keselamatan NKRI terutama untuk menanggulangi ancaman dalam
negeri dan luar negeri. Di dalam tahap dengan atmosfer politis dominan, perlu
upaya memugar Pancasila sebagai dasar negara secara ilmiah filsafati. Pancasila
mampu dijadikan pangkal sudut pandangan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
yang dalam karya-karyanya ditunjukkan segi ontologik, epismologik dan
aksiologiknya sebagai raison d’etre bagi Pancasila (Notonagoro, 1950)
Resonansi Pancasila yang tidak bisa diubah siapapun tecantum
pada Tap MPRS No. XX/MPRS/1966. Dengan keberhasilan menjadikan “Pancasila
sebagai asas tunggal”, maka dapatlah dinyatakan bahwa persatuan dan kesatuan
nasional sebagai suatu state building.
2.
Tahun 1969-1994 merupakan tahap pembangunan
ekonomi sebagai upaya mengisi kemerdekaan melalui Pembangunan Jangka Panjang
Pertama (PJP I). Orientasinya diarahkan pada ekonomi, tetapi cenderung ekonomi
menjadi “ideologi”
Secara politis pada
tahap ini bahaya yang dihadapi tidak sekedar bahaya latent sisa G 30S/PKI,
tetapi efek PJP 1 yang menimbulkan ketidak merataan
pembangunan dan sikap konsumerisme. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial yang
mengancam pada disintegrasi bangsa. Distorsi
di berbagai bidang kehidupan perlu diantisipasi dengan tepat tanpa perlu mengorbankan
persatuan dan kesatuan nasional. Tantangan memang trerarahkan oleh Orde Baru,
sejauh mana pelakasanaan “Pancasila secara murni dan konsekuen” harus
ditunjukkan.
Komunisme telah runtuh
karena adanya krisis ekonomi negara “ibu” yaitu Uni Sovyet dan ditumpasnya
harkat dan martaba tmanusia beserta hak-hak asasinya sehingga perlahan
komunisme membunuh dirinya sendiri. Negara-negara satelit mulai memisahkan diri
untuk mencoba paham demokrasi yang baru. Namun, kapitalisme yang dimotori
Amerika Serikat semakin meluas seolah menjadi penguasa tunggal. Oleh karena
itu, Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya sekedar dihantui oleh bahaya
subversinya komunis, melainkan juga harus berhadapan dengan gelombang
aneksasinya kapitalisme.
3.
ahun 1995-2020 merupakan tahap
“repostioning” Pancasila. Dunia kini sedang dihadapkan pada gelombang perubahan
yang cepat sebagai implikasi arus globalisasi.
Globalisasi sebagai
suatu proses pada hakikatnaya telah berlangsung jauh sebelum abad ke-20
sekarang, yaitu secara bertahap, berawal “embrionial” di abad 15 ditandai
dengan munculnya negara-negara
kebangsaan, munculnya gagasan kebebasan individu yang dipacu jiwa renaissance dan aufklarung.
Hakikat globalisasi
sebagai suatu kenyataan subyektif menunjukkan suatu proses dalam kesadran
manusia yang melihat dirinya sebagai partisipan dalam masyarakat dunia yang
semakin menyatu, sedangkana kenyataan obyektif globlaisasi merupakan proses
menyempitnya ruang dan waktu, “menciutnya” dunia yang berkembang dalam kondisi
penuh paradoks. Menghadapi arus
globalisasi yang semakin pesat, keurgensian Pancasila sebagai dasar negara
semakin dibutuhkan. Pancasila dengan sifat keterbukaanya melalui tafsir-tafsir
baru kita jadikan pengawal dan pemandu kita dalam menghadapi situasi yang serba
tidak pasti. Pancasila mengandung komitmen-komitmen transeden yang memiliki
“mitosnya” tersendiri yaitu semua yang “mitis kharismatis” dan “irasional” yang
akan tertangkap arti bagi mereka yang sudah terbiasa berfikir secara
teknis-positivistik dan pragmatis semata.
2.4. Makna Revitalisasi Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia
Nilai-nilai luhur yang telah
dipupuk sejak pergerakan nasional kini telah tersapu oleh kekuasaan Orde Lama
dan Orde Baru. Orde Lama mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara tidak
sebagai sesuatu substantif, melainkan di-instumentalisasi-kan sebagai alat
politik semata. Demikian pula di Orde Baru yang “berideologikan ekonomi”, Pancasila dijadikan asas tunggal yang
dimanipulasikan untuk KKN dan kroni-isme dengan mengatasnamakan sebagai Mandatoris
MPR. Kini terjadi krisis politik dan
ekonomi karena pembangunan menghadapi jalan buntu. Krisis moral budaya juga
timbul sebagai implikasi adanya krisis ekonomi. Masyarakat telah kehilangan
orientasi nilai dan arena kehidupan menjadi hambar, kejam, gersang dalam
kemiskinan budaya dan kekeringan piritual. Pancasila malah diplesetkan menjadi
suatu satire, ejekan dan sindiran dalam kehidupan yang penuh paradoks.
Pembukaan UUD 1945 dengan
nilai-nilai luhurnya menjadi suatu kesatuan integral-integratif dengan
Pancasila sebagai dasar negara. Jika itu diletakkan kembali, maka kita akan
menemukan landasan berpijak yang sama, menyelamatkan persatuan dan kesatuan
nasional yang kini sedang mengalami disintegrasi. Revitalisasi Pancasila
sebagai dasar negara mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan utuh
dengan pembukaan, di-eksplorasi-kan dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu
:
Realitasnya: dalam arti bahwa
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonkretisasikan sebagai kondisi
cerminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dlam masyarakat, suatu
rangkaian nilai-nilai yang bersifat sein im sollen dan sollen im sein. Idealitasnya: dalam arti bahwa idealisme
yang terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan
diobjektivasikan sebagai “kata kerja” untuk membangkitkan gairah dan optimisme
para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari
esok lebih baik. Fleksibilitasnya:
dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan mandeg dalam
kebekuan oqmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk
memenuhi kebutuhan zaman yang berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan
nilai hakikinya, Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional
sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan
semangat “Bhinneka tunggal Ika”
Revitalisasi Pancasila Pancasila
sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan moral, sehingga moralitas
Pancasila dapat dijadikan sebagai dasar dan arah dalam upaya mengatasi krisis
dan disintegrasi. Moralitas juga memerlukan hukum karena keduanya terdapat
korelasi. Moralitas yang tidak didukung oleh hukum kondusif akan terjadi
penyimpangan, sebaliknya, ketentuan hukum disusun tanpa alasan moral akan
melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
2.5. Arti Pentingnya Peran Pendidikan Tinggi
Dalam upaya merevitalisasi
Pancasila sebagai dasar negara maka disiapkan tenaga dosen yang mampu
mengembangkan MKU Pancasila untuk mempersiapkan lahirnya generasi sadar dan
terdidik. Sadar dalam arti generasi yang hati nuraninya selalu merasa
terpanggil untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila, terdidik
dalam arti generasi yang mempunyai kemampuan dan kemandirian dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai sarana pengabdian kepada bangsa dan
negara. Dengan demikian akan dimunculkan generasi yang mempunyai ide-ide segar
dalam mengembangkan Pancasila.
Hanya dengan pendidikan bertahap
dan berkelanjutan, generasi sadar dan terdidik akan dibentuk, yaitu yang
mengarah pada dua aspek. Pertama, pendidikan untuk memberikan bekal pengetahuan
dan pengalaman akademis, ketrampilan profesional, dan kedalaman intelektual,
kepatuhan kepada nilai-nilai (it is
matter of having). Kedua, pendidikan untuk membentuk jatidiri menjadi sarjana
yang selalu komitmen dengan kepentingan bangsa (it is matter of being). Bangsa Indonesia dihadapkan pada
perubahan, tetapi tetap harus menjaga budaya-budaya lama. Sekuat-kuatnya
tradisi ingin bertahan, setiap bangsa juga selalu mendambakan kemajuan. Setiap
bangsa mempunyai daya preservasi dan di satu pihak daya progresi di lain pihak.
Kita membutuhkan telaah-telaah yang kontekstual, inspiratif dan evaluatif. Perevitalisasikan Pancasila sebagai dasar
negara dalam format MKU, kita berpedoman pada wawasan :
1.
Spiritual, untuk meletakkan landasan
etik, moral, religius sebagai dasar dan arah pengembangan profesi
2.
Akademis, menunjukkan bahwa MKU
Pancasila adalah aspek being, tidak
sekedar aspek having
3.
Kebangsaan, menumbuhkan kesadaran nasionalisme
4.
Mondial, menyadarkan manusia dan
bangsa harus siap menghadapi dialektikanya perkembangan dalam mayaraka dunia
yang “terbuka”.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam kondisi kehidupan berbangsa
dan bernegara yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka
Pancasila tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan
terhadap kredibilitasnya. Namun perlu kita sadari bahwa tanpa adanya “platform”
dalam dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat bertahan
dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.
Melalui revitalisasi inilah
Pancasila dikembangkan dalam semangat demokrasi yang secara konsensual akan
dapat mengembangkan nilai praksisnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
yang serba pluralistik. Selain itu melestarikan dan mengembangkan Pancasila
sebagai dasar negara sebagaimana telah dirintis dan ditradisikan oleh para
pendahulu kita semenjak tahun 1908, merupakan suatu kewajiban etis dan moral
yang perlu diyakinkan kepada para mahasiswa sekarang.
3.2. Saran
Berdasarkan uraian di atas
kiranya kita dapat menyadari bahwa Pancasila merupakan falsafah negara kita
Republik Indonesia, maka kita harus menjungjung tinggi dan mengamalkan
sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati dan penuh rasa tanggung
jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Astrid S. Susanto Sunario, 1999, Masyarakat Indonesia Memasuki Abad ke Dua puluh Satu, Jakarta: Ditjen Dikti.
Depdikbud. Mubyarto,
2000, Membangun Sistem Ekonomi,
Yogyakarta: BPFE.
Suwarno, P.J., 1993,Pancasila Budaya Bangsa Indonesia,
Yogyakarta: Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar