Minggu, 20 Januari 2013

Makalah Ilmu Negara


BAB I
PENDAHULUAN
1.1           Latar belakang masalah
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independent.
Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain.
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.
Sedangkan istilah susunan negara ditujukan untuk menentukan apakah negara itu merupakan negara (1) kesatuan, (2) federasi atau (3) konfederasi. Contoh negara kesatuan adalah Republik Indonesia, dan ini jelas terdapat dalam UUD 1945 pasal 1, “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.
Adapun Negara Federal adalah suatu negara yang terdiri dari beberapa negara bagian (deelstaten) yang masing-masing tidak berdaulat biasa juga disebut sebagai negara serikat (boomstaat). Dan negara konfederasi (statebond) pada hakikatnya bukanlah negara, tetapi merupakan serikat atau perkumpulan masing-masing negara merdeka. Ikatan perkumpulan tersebut, bisa karena kepentingan bersama atau karena perkembangan sejarah, contohnya adalah Commonwealth.
1.2           Rumusan masalah
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menentukan rumusan masalah, yaitu sebagai berikut :
  1. Apakah itu negara ?
  2. Bagaimana sifat-sifat dan unsur-unsur suatu negara ?
  3. Apakah tujuan dan fungsi negara ?
1.3           Tujuan penulisan
Tujuan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah sebagai tugas kuliah paruh pertama pada mata kuliah Ilmu Negara semester ganjil. Dalam penulisan dan penyusunan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta memberikan telaah materi pada mata kuliah Ilmu Negara.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum kita membahas topik tentang ‘Apakah itu negara ?’, dibawah ini disajikan beberapa rumusan mengenai negara itu sendiri.
Menurut Roger H. Soltau :
Negara adalah agen (agency) atau kewewenangan (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat (The state is an agency or authority managing or controlling these (common) affairs on behalf of and in the name of the community).[1]
Menurut Harold J. Laski :
            Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah  lebih berkuasa daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk memenuhi terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat (The state is a society wich is integrated by possesing a coercive authority legally supreme over any individual ot group wich is part of the society. A society is a group of human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants. Such a society is a state when the way of live to wich both individuals and associations must conform is definedby a coercive authority binding upon them all).[2]
Menurut Max Weber :
            Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah (The state is a human society that (succesfully) claims the monopoli of the legitimate use of physical force within a given territory).[3]
Menurut Robert M. Maclver :
Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (The state is an association which, acting through law as pormulgalted by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the universal external conditions of social orders).[4]
2.1 Apakah itu negara ?
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerja sama, sekaligus suasana antagonis dan penuh pertentangan. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidpan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan atau asosiasi, maupu oleh negara sendiri. Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama. Dalam rangka ini boleh dikatakan bahwa negara mempunyai dua tugas :
  1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan ;
  2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyrakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.
Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat perlengkapannya. Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur, maka dari itu, semua golongan atau  asosiasi yang memperjuangkan kekuasaan harus dapat menempatkan diri dalam rangka ini.
2.2 Bagaimana sifat-sifat dan unsur-unsur suatu negara ?
Sifat-sifat negara
      Negara mempunyai sifat khusus yang merupaka manifesti dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja dan tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya. Umumnya dianggap bahwa setiap negara mempunyai sifat memaksa, sifat monopoli, dan sifat mencakup semua.
  1. Sifat memaksa. Agar peraturan perundangan-undangan ditaati dan dengan demikian dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dicegah, maka negara memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan sebagainya. Organisasi dan asosiasi yang lain dari negara juga mempunyai aturan, akan tetapi aturan-aturan yang dikeluarkan oleh negara lebih mengikat.
Di dalam masyarakat yang bersifat homogen dan ada konsensus nasional yang kuat mengenai tujuan-tujuan bersama, biasanya sifat paksaanini tidak begitu menonjol ; akan tetapi di negara-negara baru yang kebanyakan belum homogen dan konsensus nasionalnya kurang kuat, sering kali sifat paksaaan ini akan lebih tampak. Dalam hal demikian di negara demokratis tetap disadari bahwa paksaan hendaknya dipakai seminimal mungkin dan sedapat-dapatnya dipakai persuasi (meyakinkan). Lagi pula pemakaian pemaksaan secara ketat , selain memerlukan organisasi yan ketat, juga memerlukan biaya yang tinggi.
Unsur paksa dapat dilihat misalnya pada ketentuan tentang pajak. Setiap warga negara harus membayar pajak dan orang yang menghindari kewajiban ini dapat dikenakan denda, atau disita miliknya, atau di beberapa negara malahan dapat dikenakan hukuman kurungan.
  1. Sifat monopoli. Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dalam masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan, oleh karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat.
  2. Sifat mencakup semua (all-encompassing, all-embracing). Semua peraturan perundang-undangan (misalnya keharusan membayar pajak) berlaku untuk semua orang tanpa kecuali. Keadaan demikian memang perlu, sebab kalau seseorang dibiarkan berada di luar ruang lingkup aktivitas negara, maka usaha negara ke arah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan akan gagal. Lagi pula, menjadi warga negara tidak berdasarkan kemauan sendiri (involuntary membership) dan hal ini berbeda dengan asosiasi lain di mana keanggotaan bersifat sukarela.
Unsur-unsur negara
Negara terdiri atas beberapa unsur yang dapat diperinci sebagai berikut :
  1. Wilayah. Setiap negara menduduki tempat tertentu di muka bumi dan mempunyai perbatasan tertentu. Kekuasaan negara mencakup seluruh wilayah, tidak hanya tanah, tetapi juga laut disekelilingnya dan angkasa diatasnya. Karena kemajuan teknologi dewasa ini masalah wilayah lebih rumit daripada di masa lampau. Sebagai contoh, jika pada masa lampau laut sejauh 3 mil dari pantai (sesuai dengan jarak tembak meriam) dianggap sebagai perairan teritorial yang dikuasai sepenuhnya oleh negara itu, maka peluru-peluru missile sekarang membuat 3 mil tidak ada artinya. Oleh karena itu, beberapa negara (termasuk Indonesia)  mengusulkan agar perairan teritorial diperlebar menjadi 12 mil. Di samping itu kemajuan teknologi yang memungkinkan penambangan minyak serta mineral lain di lepas pantai, atau yang dinamakan landas benua (continental self) telah mendorong sejumlah besar negara untuk menuntut penguasaan atas wilayah yang lebih luas. Wilayah ini diusulkan  selebar 200 mil sebagai economic zone agar juga mencakup hak menangkap ikan dan kegiatan ekonomis lainnya.
Dalam mempelajari wilayah suatu negara perlu diperhatikan beberapa variabel, antara lain besar kecilnya suatu negara. Menurut hukum internasional, berdasarkan prinsip the sovereign equality of nations, semua negara sama martabatnya. Tetapi dalam kenyataan sendiri negara kecil sering mengalami kesukaran untuk mempertahankan kedaulatannya, apalagi kalau tetangganya negara besar.
Di lain pihak, negara yang luas wilayahnya menghadapi bermacam-macam masalah, apalagi kalau mencakup berbagai suku bangsa, ras, dan agama. Juga faktor geografis, seperti iklim dan sumber daya alam merupakan variabel yang perlu diperhitungkan. Juga perbatasan merupakan permasalahan ; misalnya apakah perbatasan merupakan perbatasan alamiah (laut, sungai, gunung), apakah negara itu tidak mempunyai hubungan dengan laut sama sekali (land-locked), atau apakah negara itu merupakan benua atau nusantara.
  1. Penduduk. setiap negara mempunyai penduduk, dan kekuasaan negara menjangkau semua penduduk di dalam wilayahnya. Dalam mempelajari soal penduduk ini, perlu diperhatikan faktor-faktor seperti kepadatan penduduk, tingkat pembangunan, tingkat kecerdasan, homogenitas, dan masalah nasionalisme. Dalam hubungan antara dua negara yang kira-kira sama tingkat industrinya, negara yang sedikit penduduknya sering lebih lemah kedudukannya daripada negara yang banyak penduduknya. (Prancis terhadap Jerman dalam Perang Dunia II). Sebaliknya, negara yang padat penduduknya (India, China) menghadapi persoalan bagaimana menyediakan fasilitas yang cukup sehingga rakyatnya dapat hidup secara layak. Di masa lampau ada negara yang mempunyai kecerendungan untuk memperluas negaranya melalui ekspansi. Dewasa ini cara yang dianggap lebih layak adalah meningkatkan produksi atau menyelenggarakan program keluarga berencana untuk membatasi pertambahan penduduk. Dalam memecahkan persoalan semacam ini faktor-faktor seperti tinggi-rendahnya  tingkat pendidikan, kebudayaan, dan teknologi dengan sendirinya memainkan peran yang sangat penting.
  2. Pemerintah. Setiap negara mempunyai organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya. Keputusan-keputusan ini antara lain berbentuk undang-undang dan peraturan-peraturan lain. Dalam hal ini pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan dari negara. Bermacam-macam kebijaksanaan ke arah tercapainya tujuan-tujuan lasyarakat dilaksanakannya sambil menertibkan hubungan-hubungan manusia  dalam masyarakat. Negara mencakup semua penduduk, sedangkan pemerintah hanya mencakup sebagian kecil daripadanya. Pemerintah sering berubah, sedangkan negara terus bertahan (kecuali kalau ada pengaruh dari negara lain). Kekuasaan pemerintah biasanya dibagi atas kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
  3. Kedaulatan. Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia. Negara mempunyai kekuasaan yang tertinggi ini untuk memaksa semua penduduknya agar menaati undang-undang serta peraturan-peraturannya (kedaulatan ke dalam-internal sovereignty). Di samping itu negara mempertahankan kemerdekaannya terhadap serangan-serangan dari negara lain dan mempertahankan kedaulatan ke luar (external sovereignty). Untuk itu negara menuntut loyalitas yang mutlak dari warga negaranya.
Kedaulatan merupakan suatu konsep yuridis, dan konsep kedaulatan ini tidak terlalu sama dengan komposisi dan letak dari kekuasaan politik. Kedaulatan yang bersifat mutlak sebenarnya tidak ada,  sebab pemimpin kenegaraan (raja atau diktator) selalu terpengaruh oleh tekanan-tekanan dan faktor-faktor yang membatasi penyelenggaraan kekuasaan secara mutlak. Apalagi kalau menghadapi masalah dalam hubungan internasional ; perjanjian-perjanjian internasional pada dasarnya membatasi kedaulatan suatu negara. Kedaulatan umumnya tidak dapat dibagi-bagi, tetapi dalam negara federal sebenarnya kekuasaan dibagi antara negara dan negara-negara bagian.
2.3 Apakah tujuan dan fungsi negara ?
Negara dapat dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mengejar beberapa tujuan bersama. Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth).
Menurut Roger H. Soltau tujuan negara ialah : Memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin (The freest possible development and creative self-expression of its members).[5] Dan menurut Harold J. Laski : Menciptakan keadaan di mana rakyat dapat mencapai keinginan­-keinginan mereka secara maksimal (Creation of those conditions under wich the members of the state may attain the maximum satisfaction of their desires).[6]
Tujuan negara Republik Indonesia sebagai tercantum sebagai di dalam Undang-Undang Dasar 1945 ialah : « Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan yang Mahaesa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pancasila) ».
Negara yang berhaluan Marxisme-Leninisme bertujuan untuk membangun masyarakat komunis, sehingga bonul publicum selalu ditafsirkan dalam rangka tercapainya masyarakat komunis. Tafsiran itu memengaruhi fungsi-fungsi negara di bidang kesejahteraan dan keadilan. Negara dianggap sebagai alat untuk mencapai komunisme dalam arti segala alat kekuasaannya harus dikerahkan untuk mencapai tujuan itu. Begitu pula fungsi negara di bidang kesejahteraan dan keadilan (termasuk hak-hak asasi warga negara) terutama ditekankan pada aspek kolektifnya, dan sering mengorbankan aspek perseorangannya.
Akan tetapi setiap negara, terlepas dari ideologinya, menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak, yaitu :
  1. Melaksanakan penertiban (law and order). Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator.
  2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini sangat pentng, terutama bagi negara-negara baru. Pandangan di Indonesia tercermin dalam usaha pemerintah untuk membangun suatu rentetan Repelita.
  3. Pertahanan. Hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk ini negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
  4. Menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan peradilan.
Sarjana lain, Charles E. Merriam, menyebutkan lima fungsi negara,[7] yaitu :
  1. Keamanan ektern
  2. Ketertiba intern
  3. Keadilan
  4. Kesejahteraan umum
  5. Kebebasan
Keseluruhan fungsi negara di atas diselenggarakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
BAB III
PENUTUP
3.1           Kesimpulan
Apakah itu negara ?
Jadi, sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis terhadap kekuasaan yang sah.
Bagaimana sifat-sifat dan unsur-unsur suatu negara ?
Negara mempunyai sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja dan tidak terdapat pada asosiasi lainnya. Setiap negara mempunyai sifat, yaitu :
-          Sifat memaksa
-          Sifat monopoli
-          Sifat mencakup semua
Dan negara terdiri atas beberapa unsur, yaitu :
-          Wilayah
-          Penduduk
-          Pemerintah
-          Kedaulatan
Apakah tujuan dan fungsi negara ?
Negara dapat dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mengejar beberapa tujuan bersama. Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya.
Akan tetapi setiap negara, terlepas dari ideologinya, menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak, yaitu :
-          Melaksanakan penertiban
-          Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya
-          Pertahanan
-          Menegakkan keadilan
3.2           Saran
Mewujudkan suatu negara yang sempurna sangtlah sulit. Dibutuhkannya seorang pemimpin yang  baik dan bertanggung  jawab, wilayah strategis yang kaya akan sumber daya alam, penduduk yang bernasionalisme tinggi dan pemerintahan yang profesional dan berdaulat.
Untuk tercapainya cita-cita suatu negara, yang paling utama tentu saja adalah adanya niat yang besar untuk membangun negara secara idealis dan utopis. Memahami nilai-nilai suatu negara diperlukan pembelajaran, yaitu belajar dari pengalaman dan kesalahan negara-negara yang sekarang telah menjadi pemegang kuasa global. Dalam usaha mewujudkan cita-cita negara, kadang kita mengalami kegagalan dan penghambatan dimana-mana, tetapi itu bukan alasan bagi kita bangsa Indonesia untuk melemahkan niat dan tekad kita untuk terus berusaha agar Tanah Air dapat berjaya kembali.
Suatu saat, saya yakin bahwa Indonesia akan sembuh dari ‘penyakit-penyakit’nya dan bangkit kembali, Merah-Putih akan berkibar dengan gagah, globalisasi ideologi Pancasila di seluruh dunia dan Macan Asia akan kembali kedalam masa kejayaan!
DAFTAR PUSTAKA
  1. Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  2. Soltau, An introduction to politic.
  3. Harold J. Laski, The State in Theory and Practice (New York : The Viking Press, 1947).
  4. H.H. Gerth and C. Wright Mills, trans., eds and introduction, From Max Weber : Essays in Sociology (New York : Oxford University Press, 1958).
  5. Charles E. Merrian, Systematic politics (Chicago : University of Chicago Press, 1947).
  6. Soehino. 2005. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.

[1] Soltau, An introduction to politic, hlm. 1.
[2] Harold J. Laski, The State in Theory and Practice (New York : The Viking Press, 1947), hlm. 8-9
[3] H.H. Gerth and C. Wright Mills, trans., eds and introduction, From Max Weber : Essays in Sociology (New York : Oxford University Press, 1958), hlm. 78
[4] R.M. Maclver, The Modern State (London : Oxford University Press, 1926), hlm. 22
[5] Soltau, An Introduction to Politics, hlm. 253.
[6] Laski, The State in Theory and Practice, hlm. 12.
[7]Charles E. Merrian, Systematic politics (Chicago : University of Chicago Press, 1947)



PACASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Paham kebangsaan secara fundamental diawali perintisan Boedi Oetomo (1908), gerakan-gerakan pemuda seperti Jong Java dan sebagainya (1920), Pemuda Indonesia (1925) kemudian disusul Sumpah Pemuda (1928).Sudah semenjak lahirnya paham kebangsaan bukanlah cetusan tekad para pejuang bangsa, melainkan strategi yang kelak menjadi ideologi perjuangan untuk merdeka.

1.1.Rumusan Masalah
Untuk menghidari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis membatasi masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya:
a.       Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara?
b.      Makna Revitalisasi Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia?

1.2. Tujuan Penulisan
Dalam penyusunan Makalah ini, penulis mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
a.       Penulis ingin mengetahui Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara Pada hakikatnya, Pancasila mempunyai dua fungsi yaitu sebagai pandangan hidup dan sebagai dasar negara oleh sebab itu penulis ingin menjabarkan keduanya.
b.      Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara
BAB II
PEMBAHASAN

Sejak kelahirannya (1 Juni 1945) Pancasila adalah Dasar Falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau lebih dikenal sebagai Dasar Negara (Philosofische groundslag). Hal ini, dapat diketahui pada saat Soekarno diminta ketua Dokuritsu zyunbi Tyoosakai untuk berbicara di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 1 Juni 1945, menegaskan bahwa beliau akan memaparkan dasar negara merdeka, sesuai dengan permintaan ketua. Menurut Soekarno, pembicaraan-pembicaraan terdahulu belum menyampaikan dasar Indonesia Merdeka. Bahkan Soekarno menyatakan :
Pada bagian pidato berikutnya, Soekarno menyatakan, bahwa Philosofische Groundslag diatas mana kita mendirikan negara Indonesia, tidak lain adalah Waltanschauung. Bahkan Soekarno lebih menegaskan lagi Waltanschauung yang kita harapkan tidak lain adalah persatuan philosofische graoundslag. Untuk itu Soekarno menegaskan sebagai berikut :
Apakah itu ? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya : apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan ? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saya Indonesia Merdeka, tetapi hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan yang kaya, untuk memberi pada satu golongan bangsawan ? Apakah maksud kita begitu ? Sudah tentu ! Baik saudara –saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendidikan suatu negara “semua buat semua” Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi “semau buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di salam saya punya jiwa, bukan saja didalam beberapa hari didalam sidang Dokuritsu zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1981, 25 tahun lebih, ialah : dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan”. (sekretariat negara, 1995 : 71)
Paparan berikut Soekarno menyatakan filosofische principe yang kedua adalah internasionalisme. Pada saat menegaskan pengertian internasionalisme, Soekarno menyatakan bahwa internasionalisme bukanlah berarti kosmopolitisme, yang menolak adanya kebangsaan, bahkan beliau menegaskan :
“Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar didalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. “Seraya mengutip ucapan Gandhi, beliau menegaskan my nasionalisme is humanity. Pada saat menjelaskan prinsip dasar ketiga, Soekarno menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara “Semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu”, oleh karenanya saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan. Demikian berikutnya untuk prinsip dasar yang keempat Soekarno mengusulkan prinsip kesejahteraan ialah prinsip tidak akan ada kemiskinan didalam Indonesia merdeka. Prinsip dasar kelima adalah prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada kesempatan itu, Soekarno menjelaskan :
Prinsip-prinsip filsafati Pancasila sejak awal kelahirannya diusulkan sebagai dasar negara (philosofische grondslag, Weltanschauung) Republik Indonesia, yang kemudian diberi status (kedudukan) yang tegas dan jelas dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

2.1. Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara
Generasi Soekarno-Hatta telah mampu menunjukkan keluasan dan kedalaman wawasannya, dan dengan ketajaman intelektualnya telah berhasil merumuskan gagasan-gagasan vital sebagaimana dicantumkan didalam pembukaan UUD 1945, dimana Pancasila sebagai dasar negara ditegaskan dalam satu kesatuan integral dan integratif. Oleh karena itu para tokoh menyatakan bahwa Pembukaan Undang-Undang 1945 merupakan sebuah dokumen kemanusiaan yang terbesar dalam sejarah kontemporer setelah American Declaration of Independent 1976. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 nyaris sempurna, dengan nilai-nilai luhur yang bersifat universal, oleh karenanya Pancasila merupakan dasar yang kekal dan abadi bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah bangsa Indonesia (Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan Pancasila sebagai dasar negara dalam tiga tahap yaitu : (1) tahap 1945-1968 sebagai tahap politis, (2) tahap 1969-1994 sebagai tahap pembangunan ekonomi, dan (3) tahap 1995-2020 sebagai tahap repositioning Pancasila. Penahapan ini memang tampak berbeda lazimnya para pakar hukum ketatanegaraan melakukan penahapan perkembangan Pancasila Dasar Negara yaitu : (1) 1945-1949 masa Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama ; (2) 1949-1950 masa konstitusi RIS ; (3) 1950-1959 masa UUDS 1950 ; (4) 1959-1965 masa orde lama ; (5) 1966-1998 masa orde baru dan (6) 1998-sekarang masa reformasi. Hal ini patut dipahami, karena adanya perbedaan pendekatan, yaitu dari segi politik dan dari segi hukum.
Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya yaitu :
Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya dikonkritisasikan sebagai ceminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat “sein im sollen dan sollen im sein”
Idealitasnya bahwa idelisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif menuju hari esok yang lebih baik.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan mendeg dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang, dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Reposisi Pancasila sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan dan pengembangan moral, sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah untuk mengatasi krisis dan disintegrasi. Moralitas Pancasila harus disertai penegakkan (supremasi) hukum.

2.2. Peranan Pancasila Di Era Reformasi
2.2.1.      Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia sebagai landasa kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berarti, bahwa setiap gerak langkah bangsa dan negara Indonesia harus selalu dilandasi oleh sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai negara hukum setiap perbuatan, baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Sekurang-kurangnya, substansi produk hukumnya tidak bertentangan dengan sila-sila Pancasila.

2.2.2.      Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang sosial politik
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di implementasikan sbb :
a.       Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
b.       Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam pemgambilan keputusan ;
c.       Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan ;
d.      Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab ;
e.       Tidak dapat tidak, nilai-nilai keadilan, kejujuran (yang menghasilkan) dan toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.

2.3. Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara
Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari melalui pembentukan BPUPKI dan PPKI. Generasi Soekarno-Hatta menunjukan ketajaman intelektual dengan merumuskan gagasan vital seperti yang tercantum di Pembukaan UUD 1045 dimana Pancasila ditegaskan sebagai kesatuan integral dan integratif. Prof. Notonagoro sampai menyatakan Pembukaan UUD 1945 adalah dokomen kemanusiaan terbesar setelah American Declaratiom of Independence (1776).
Isi Pembukaan UUD 1945 adalah nilai-nilai luhur yang universal sehingga Pancasila di dalamnya merupakan dasar yang kekal dan abadi bagi kehidupan bangsa. Gagasan vital yang menjadi isi Pancasila sebagai dasar negara merupakan jawaban kepribadian bangsa sehingga dalam kualitas awalnya Pancasila merupakan dasar negara, tetapi dalam perkembngannya menjadi ideologi dari berbagai kegiatan yang berimplikasi positif atau negatif. Pancasila bertolak belakang dengan kapitalisme ataupun komunisme. Pancasila justru merombak realitas keterbelakangan yang diwariskan Belanda dan Jepang untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pancasila sudah berkembang menjadi berbagai tahap semenjak ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu :
1.      Tahun 1945-1948 merupakan tahap politis. Orientasi Pancasila diarahkan pada nation and character building. Semangat perstuan dikobarkan demi keselamatan NKRI terutama untuk menanggulangi ancaman dalam negeri dan luar negeri. Di dalam tahap dengan atmosfer politis dominan, perlu upaya memugar Pancasila sebagai dasar negara secara ilmiah filsafati. Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandangan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang dalam karya-karyanya ditunjukkan segi ontologik, epismologik dan aksiologiknya sebagai raison d’etre bagi Pancasila (Notonagoro, 1950)
Resonansi Pancasila yang tidak bisa diubah siapapun tecantum pada Tap MPRS No. XX/MPRS/1966. Dengan keberhasilan menjadikan “Pancasila sebagai asas tunggal”, maka dapatlah dinyatakan bahwa persatuan dan kesatuan nasional sebagai suatu state building.
2.      Tahun 1969-1994 merupakan tahap pembangunan ekonomi sebagai upaya mengisi kemerdekaan melalui Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I). Orientasinya diarahkan pada ekonomi, tetapi cenderung ekonomi menjadi “ideologi”
Secara politis pada tahap ini bahaya yang dihadapi tidak sekedar bahaya latent sisa G 30S/PKI, tetapi efek PJP 1 yang menimbulkan ketidak merataan pembangunan dan sikap konsumerisme. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial yang mengancam pada disintegrasi bangsa. Distorsi di berbagai bidang kehidupan perlu diantisipasi dengan tepat tanpa perlu mengorbankan persatuan dan kesatuan nasional. Tantangan memang trerarahkan oleh Orde Baru, sejauh mana pelakasanaan “Pancasila secara murni dan konsekuen” harus ditunjukkan.
Komunisme telah runtuh karena adanya krisis ekonomi negara “ibu” yaitu Uni Sovyet dan ditumpasnya harkat dan martaba tmanusia beserta hak-hak asasinya sehingga perlahan komunisme membunuh dirinya sendiri. Negara-negara satelit mulai memisahkan diri untuk mencoba paham demokrasi yang baru. Namun, kapitalisme yang dimotori Amerika Serikat semakin meluas seolah menjadi penguasa tunggal. Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya sekedar dihantui oleh bahaya subversinya komunis, melainkan juga harus berhadapan dengan gelombang aneksasinya kapitalisme.
3.       ahun 1995-2020 merupakan tahap “repostioning” Pancasila. Dunia kini sedang dihadapkan pada gelombang perubahan yang cepat sebagai implikasi arus globalisasi.
Globalisasi sebagai suatu proses pada hakikatnaya telah berlangsung jauh sebelum abad ke-20 sekarang, yaitu secara bertahap, berawal “embrionial” di abad 15 ditandai dengan munculnya negara-negara kebangsaan, munculnya gagasan kebebasan individu yang dipacu jiwa renaissance dan aufklarung.
Hakikat globalisasi sebagai suatu kenyataan subyektif menunjukkan suatu proses dalam kesadran manusia yang melihat dirinya sebagai partisipan dalam masyarakat dunia yang semakin menyatu, sedangkana kenyataan obyektif globlaisasi merupakan proses menyempitnya ruang dan waktu, “menciutnya” dunia yang berkembang dalam kondisi penuh paradoks. Menghadapi arus globalisasi yang semakin pesat, keurgensian Pancasila sebagai dasar negara semakin dibutuhkan. Pancasila dengan sifat keterbukaanya melalui tafsir-tafsir baru kita jadikan pengawal dan pemandu kita dalam menghadapi situasi yang serba tidak pasti. Pancasila mengandung komitmen-komitmen transeden yang memiliki “mitosnya” tersendiri yaitu semua yang “mitis kharismatis” dan “irasional” yang akan tertangkap arti bagi mereka yang sudah terbiasa berfikir secara teknis-positivistik dan pragmatis semata.

2.4. Makna Revitalisasi Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia
Nilai-nilai luhur yang telah dipupuk sejak pergerakan nasional kini telah tersapu oleh kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Orde Lama mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara tidak sebagai sesuatu substantif, melainkan di-instumentalisasi-kan sebagai alat politik semata. Demikian pula di Orde Baru yang “berideologikan ekonomi”, Pancasila dijadikan asas tunggal yang dimanipulasikan untuk KKN dan kroni-isme dengan mengatasnamakan sebagai Mandatoris MPR.   Kini terjadi krisis politik dan ekonomi karena pembangunan menghadapi jalan buntu. Krisis moral budaya juga timbul sebagai implikasi adanya krisis ekonomi. Masyarakat telah kehilangan orientasi nilai dan arena kehidupan menjadi hambar, kejam, gersang dalam kemiskinan budaya dan kekeringan piritual. Pancasila malah diplesetkan menjadi suatu satire, ejekan dan sindiran dalam kehidupan yang penuh paradoks.
Pembukaan UUD 1945 dengan nilai-nilai luhurnya menjadi suatu kesatuan integral-integratif dengan Pancasila sebagai dasar negara. Jika itu diletakkan kembali, maka kita akan menemukan landasan berpijak yang sama, menyelamatkan persatuan dan kesatuan nasional yang kini sedang mengalami disintegrasi. Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan utuh dengan pembukaan, di-eksplorasi-kan dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu :
Realitasnya: dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonkretisasikan sebagai kondisi cerminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dlam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat sein im sollen dan sollen im sein. Idealitasnya: dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobjektivasikan sebagai “kata kerja” untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok lebih baik. Fleksibilitasnya: dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan mandeg dalam kebekuan oqmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya, Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat “Bhinneka tunggal Ika”
Revitalisasi Pancasila Pancasila sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan moral, sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan sebagai dasar dan arah dalam upaya mengatasi krisis dan disintegrasi. Moralitas juga memerlukan hukum karena keduanya terdapat korelasi. Moralitas yang tidak didukung oleh hukum kondusif akan terjadi penyimpangan, sebaliknya, ketentuan hukum disusun tanpa alasan moral akan melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

2.5. Arti Pentingnya Peran Pendidikan Tinggi
Dalam upaya merevitalisasi Pancasila sebagai dasar negara maka disiapkan tenaga dosen yang mampu mengembangkan MKU Pancasila untuk mempersiapkan lahirnya generasi sadar dan terdidik. Sadar dalam arti generasi yang hati nuraninya selalu merasa terpanggil untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila, terdidik dalam arti generasi yang mempunyai kemampuan dan kemandirian dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai sarana pengabdian kepada bangsa dan negara. Dengan demikian akan dimunculkan generasi yang mempunyai ide-ide segar dalam mengembangkan Pancasila.
Hanya dengan pendidikan bertahap dan berkelanjutan, generasi sadar dan terdidik akan dibentuk, yaitu yang mengarah pada dua aspek. Pertama, pendidikan untuk memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman akademis, ketrampilan profesional, dan kedalaman intelektual, kepatuhan kepada nilai-nilai (it is matter of having). Kedua, pendidikan untuk membentuk jatidiri menjadi sarjana yang selalu komitmen dengan kepentingan bangsa (it is matter of being). Bangsa Indonesia dihadapkan pada perubahan, tetapi tetap harus menjaga budaya-budaya lama. Sekuat-kuatnya tradisi ingin bertahan, setiap bangsa juga selalu mendambakan kemajuan. Setiap bangsa mempunyai daya preservasi dan di satu pihak daya progresi di lain pihak. Kita membutuhkan telaah-telaah yang kontekstual, inspiratif dan evaluatif. Perevitalisasikan Pancasila sebagai dasar negara dalam format MKU, kita berpedoman pada wawasan :
1.         Spiritual, untuk meletakkan landasan etik, moral, religius sebagai dasar dan arah pengembangan profesi
2.         Akademis, menunjukkan bahwa MKU Pancasila adalah aspek being, tidak sekedar aspek having
3.         Kebangsaan, menumbuhkan kesadaran nasionalisme
4.         Mondial, menyadarkan manusia dan bangsa harus siap menghadapi dialektikanya perkembangan dalam mayaraka dunia yang “terbuka”.


BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dalam kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitasnya. Namun perlu kita sadari bahwa tanpa adanya “platform” dalam dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.
Melalui revitalisasi inilah Pancasila dikembangkan dalam semangat demokrasi yang secara konsensual akan dapat mengembangkan nilai praksisnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang serba pluralistik. Selain itu melestarikan dan mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana telah dirintis dan ditradisikan oleh para pendahulu kita semenjak tahun 1908, merupakan suatu kewajiban etis dan moral yang perlu diyakinkan kepada para mahasiswa sekarang.

3.2. Saran
Berdasarkan uraian di atas kiranya kita dapat menyadari bahwa Pancasila merupakan falsafah negara kita Republik Indonesia, maka kita harus menjungjung tinggi dan mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati dan penuh rasa tanggung jawab.







DAFTAR PUSTAKA

Astrid S. Susanto Sunario, 1999, Masyarakat Indonesia Memasuki Abad ke Dua puluh Satu, Jakarta: Ditjen Dikti.
Depdikbud. Mubyarto, 2000, Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta:                                     BPFE.
Suwarno, P.J., 1993,Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta:                             Kanisius

MAKALAH PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA DAN KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM

Pendahuluan
Penyimpangan implementasi pancasila pada masa orde lama dan orde baru, berujung menimbulkan gerakan reformasi di Indonesia, sehingga terjadilah suatu perubahan yang cukup besar dalam berbagai bidang terutama bidang kenegaraan, hukum maupun politik. Konsekuensinya mengharuskan kita mengkaji ulang atas pemahaman ilmiah tentang pancasila sebagai ideologi dan sebagai paradigma kenegaraan.
Atas dasar pemahaman yang demikian itu, maka ada dua wacana ilmiah yang patut dikemukakan, yaitu :
Pertama, Apa yang dimaksud dengan pancasila sebagai ideologi terbuka?
Kedua, Apa yang dimaskud dengan pancasila sebagai paradigma kenegaraan?
Dan terhadap jawaban kedua pertanyaan di atas dapat dipertanyakan lebih lanjut bagaimana analisis yuridis kenegaraan didalam UUD 1945 ? kemudian apa kaitannya dengan supremasi hukum yang merupakan gerakan mendasar reformasi saat ini ?
Untuk menjawab secara ilmiah kedua wacana tersebut dapat dipahami dua pengertian pokok, pengertian ideologi dan pengertian reformasi.
1. Pengertian tentang ideologi
Istilah “Ideologi” berasal dari kata “ideo” (cita-cita) dan “logy” (pengetahuan, ilmu faham).
Menurut W. White definisi Ideologi ialah sebagai berikut :
“The sum of political ideas of doctrines of distinguishable class of group of people” (ideologi ialah soal cita-cita politik atau dotrin (ajaran) dari suatu lapisan masyarakatatau sekelompok manusia yang dapat dibeda-bedakan).
Sedangkan menurut pendapat Harold H Titus definisi ideologi ialah sebagai berikut : “A term used for any group of ideas concerning various politicaland economic issues and social philosophies often appliedto a systematic schema of ideas held by group classes” (suatu istilah yang dipergunakan untuk sekelompok cita-cita mengenai berbagai macam masalah politik dan ekonomi serta filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematik tentang cita-cita yang dijalanakan oleh sekelompok atau lapisan masyarakat). (Drs Ismaun, pancasila sebagai dasar filsafat atau ideologi negara republik Indonesia dalam Heri Anwari Ais, Bunga Rampai filsafat pancasila, 1985 : 37).
“The term “isme” something used for these system of thought” (istilah isme/aliran kadang-kadang dipakai untuk system pemikiran ini.
Dalam pengertian ideologi negara itu termasuk dalam golongan ilmu pengetahuan sosial, dan tepatnya pada digolongkan kedalam ilmu politik (political sciences) sebagai anak cabangnya. Untuk memahami tentang ideologi ini, maka kita menjamin disiplin ilmu politik.
Didalam ilmu politik, pengertian ideologi dikenal dua pengertian, yaitu :
Pertama, pengertian secara fungsional dan
Kedua, pengertian secara structural
Ideologi dalam pengertian secara fungsional adalah ideologi diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Sedangkan pengertian ideologi secara structural adalah ideologi diartikan sebagai system pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa.
Lebih lanjut ideologi dalam arti fungsional secara tipologi dapat dibagi dua tipe, yaitu ideologi yang bertipe doktriner dan ideologi yang bertipe pragmatis.
Suatu ideologi digolongkan doktriner apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas, diindotrinasikan kepada warga masyarakat, dan pelaksanaanya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah, komunisme merupakan salah satu contohnya.
Suatu ideology digolongkan pada tipe pragmatis, ketika ajaran – ajaran yag terkandung dalam ideology tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, melainkan dirumuskan secara umum (prinsup-prinsipnya saja). Dalam hal ini, ideology itu tidak diindoktrinasikan, tetapi disosisalisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik. Individualisme (liberalisme) merupakan salah satu contoh ideology pragmatis.
Untuk memahami lebih dalam lagi contoh-contoh ideology, maka berikut ini kita mencoba mengenal pijakan pemahaman terhadap empat ideology yang kita kenal dalam wacana politik, yaitu :
Pertama, liberalisme
Kedua, konservatisme
Ketiga, sosialisme dan komunisme
Keempat, fasisme
2. Ideologi-ideologi Dunia
2.1 Liberalisme
Liberalisme tumbuh dari konstek masyarakat Eropa pada abad pertengahan feudal, dimana sistem sosial ekonomi dikuasai oleh kaum aristrokasi feodal dan menindas hak-hak individu. Liberalisme tidak diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan diciptakan oleh golongan intelektual yang digerakan oleh keresahan ilmiah (rasa ingin tahu da keinginan untuk mencari pengetahuan yang baru) dan artistic umum pada zaman itu.
Ciri-ciri ideology libertalisme sebagai berikut :
Pertama, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik,
Kedua, anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara
Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri sendiri.
Keempat, kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah.
Kelima, suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian terbesar individu berbahagia, kalau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagiaan sebagian besar individu belum tentu maksimal.
2.2 Konservatisme
Ketika liberalisme menggoncang struktur masyarakat feudal yang mapan, golongan feudal berusaha mencari ideology tandingan untuk menghadapi kekuasaan persuasive liberalisme. Dari sinilah muncul ideology konservatisme sebagai reaksi atas paham liberalisme.
Paham konservatisme itu ditanda dengan gejala-gejala sebagai berikut :
Pertama, masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tertata. Masyarakat harus memiliki struktur (tata) yang stabil sehingga setiap orang mengetahui bagaimana ia harus berhubungan dengan orang lain.seseorang akan lebih memperoleh kebahagiaansebagai anggota suatu keluarga anggota gereja daan anggota masyarakat daripada yang dapat diperoleh secara individual.
Kedua, untuk menciptakan masyarakat yang tertata dan stabil diperlukan suatu pemerintah yang memiliki kekuasaan yang mengikat tetapi bertanggung jawab. Paam konservatif berpandangan pengatura yang tepat atas kekuasaan akan menjamin perlakuan yang samaterhadap setiap orang.
Ketiga, paham ini menekankan tanggung jawab pada pihak penguasa dalam masyarakat untuk membantu pihak yang lemah. Posisi ini bertentangan dengan pahamliberal yang berpandangan pihak yang lemah harus bertanggung jawab atas urusan dan hidupnya. Sisi konservatif inilah yang menimbulkan untuk pertama kali negara keseahteraan (welfare state) dengan program-program jaminan sosial bagi yang berpenghasilan rendah.
Ciri lain yang membedakan antara liberalisme dan konservatisme adalah menyangkut hubungan ekonomi dengan negara lain. Paham konservatif tidak menghendaki pengaturan ekonomi (proteksi), melainkan menganut paham ekonomi internasional yang bebas (persaingan bebas), sedangkan paham liberal cenderung mendukung pengaturan ekonomi internasional sepanjang hal itu membantu buruh, konsumen dan golongan menengah domestik.
2.3 Sosialisme dan komunisme
Sosialisme merupakan reaksi terhadap revolusi industri dan akibat-akibatnya. Awal sosialisme yang muncul pada bagian pertama abad ke-19 dikenal sosialis utopia. Sosialisme ini lebih didasarkan pada pandangan kemanusiaan (humanitarian), dan meyakini kesempurnaan watak manusia. Penganut paham ini berharap dapat menciptakan masyarakat sosialis yang dicita-citakan dengan kejernihan dan kejelasan argumen, bukan dengan cara-cara kekerasan dan revolusi. Sedang paham komunisme berkeyakinan perubahan system kapitalis harus dicapai dengan revolusi, dan pemerintahan oleh dictator proletariat sangat diperlukan pada masa transisi. Dalam masa transisi dengan bantuan negara dibawah dictator proletariat, seluruh hak milik pribadi dihapuskan dan diambil untuk selanjutnya berada pada kontrol negara.
Perbedaan sosialisme dan komunisme terletak pada sarana yang digunakan untuk mengubah kapitalisme menjadi sosialisme. Paham sosialis berkeyakinan perubahan dapat dan seyogyanya dilakukan dengan cara-cara damai dan demokratis.
2.4 Fasisme
Fasisme merupakan tipe nasionalisme yang romantis dengan segala kemegahan upacara dan symbol-simbol yang mendukungnya untuk mencapai kebesaran negara.
Hal itu akan dapat dicapai apabila terdapat seorang pemimpin kharismatis sebagai symbol kebesaran negara yang didukung oleh massa rakyat.. dukungan massa yang fanatik ini tercipta berkat indoktrinasi, slogan-slogan dan symbol-simbol yang ditanamkan sang pemimpin besar dan aparatnya. Fasisme ini pernah diterapkan di Jerman (Hitler), Jepang, Italia (Mossolini), dan Spanyol.
Dewasa ini pemikiran fasisme cenderung muncul sebagai kekuatan reaksioner (right wing) dinegara-negara maju, seperti skin ilead dan kluk-kluk klan di Amerika Serikat yang berusaha mencapai dan mempertahankan supremasi kulit putih.
3. Pengertian tentang reformasi
Makna serta pengertian reformasi dewasa ini banyak disalah artikan sehingga gerakan masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga tidak sesuai dengan gerakan reformasi itu sendiri. Hal ini terbukti dengan maraknya gerakan masyarakat dengan mengatasnamakan gerakan reformasi, melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan makna reformasi itu sendiri, misalnya dengan pemaksaan kehendak dengan menduduki kantor suatu instansi atau lembaga baik negeri atau swasta, dan tindakan lain yang justru tidak mencerminkan sebagai reformis.
Makna “reformasi” secara etimologis berasal dari kata “reformation” dengan akar kata “reform” yang secara semantic bermakna “make or become better by removing or putting right what is bad or wrong” (oxford advanced leaner’s dictionary of current English, 1980, dalam Wibisono 1998 : 1).
Secara harfiah reformasi memiliki makna : suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat(Riswanda, 1998).
Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut :
Pertama, suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Masa pemerintahan ORBA banyak terjadi suatu penyimpangan – penyimpangan, misalnya asas kekeluargaan menjadi “nepotisme” kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat pembukaan UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.
Kedua, suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu, dalam hal ini pancasila sebagai ideology bangsa dan negara Indonesia. Jadi reformasi pada prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan pada dasar nilai-nilai sebagaimana dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Tanpa landasan visi dan misi ideology yang jelas maka gerakan reformasi akan mengarah anarkisme, disintegrasi bangsa dan akhirnya jatuh pada kehancuran bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang telah terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia.
Ketiga, suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu acuan reformasi. Reformasi pada prinsipnya gerakan untuk mengadakan suatu perubahan untuk mengembalikan pada suatu tatanan structural yang ada, karena adanya suatu penyimpangan. Maka reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem negara demokrasi, bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Reformasi harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah sistem negara hukum dalam arti yang sebenarnya sebagaimana terkandung dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari pengaruh penguasa, serta legalitas dalam arti hukum. Oleh karena itu reformasi itu sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain itu reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparasi dalam setiap kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara karena hal ini sebagai manesfestasi bahwa rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan rakyatlah segaa aspek kegiatan negara. Atau dengan prinsip, bahwa “Tiada Reformasi dan Demokrasi tanpa supremasi hukum dan tiada supremasi hukum tanpa reformasi dan demokrasi”.
Keempat, Reformasi diakukan ke arah suatu perubahan kearah kondisi serta keadaan yang lebih baik dalam segala aspeknya antara lain bidang politik, ekonomi, sosial budaya, serta kehidupan keagamaan. Dengan lain perkataan reformasi harus dilakukan ke arah peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai manusia democrat, egaliter dan manusiawi.
Kelima, Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik sebagai manusia yang berketuhanan yang maha esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Atas dasar lima syarat-syarat di atas, maka gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideology, sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas, maka reformasi akan mengarah kepada disintegrasi, anarkisme,brutalisme, dengan dmikian hakekat reformasi itu adalah keberanian moral untuk membenahi yang masih terbengkalai, meluruskan yang bengkok, mengadakan koreksi dan penyegaran secara terus-menerus, secara gradual, beradab dan santun dalam koridor konstitusional dan atas pijakan/tatanan yang berdasarkan pada moral religius.
4. Pancasila sebagai ideologi terbuka
pancasila sebgaai filsafat bangsa / negara dihubungkan dengan fungsinya sebagai dasar negara, yang merupakan lndasan ideal bangsa Indonesia dan negara republik Indonesia dapat disebut pula sebagai ideologi nasional atau disebut juga sebagai ideologi negara. Artinya pancasila merupakan ideologi yang dianut oleh negara (penyelenggaraan negara dan rakyat) Indonesia secara keseluruhan, bukan milik atau monopoli seseorang atau sekelompok orang, disamping masih adanya beberapa ideologi yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang lain, sepanjang tidak bertentangan dengan ideologi negara, sebab Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai kebenaran yang telah dipilih oleh para pendiri negara ini, yang mana lima dasar atau lima silanya merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan walaupun terbedakan sebagai dasar dan ideologi pemersatu.
Sebagai suatu rumusan dasar filsafat negara atau dalam kedudukan sebagai ideologi negara yang dikandung oleh pembukaan UUD 1945 ialah pancasila. Rumusan pancasila itu dapat pula disebut sebagai rumusan dasar cita negara (staatidee) dan sekaligus dasar dari cita hokum (rechtidee) negara republik Indonesia.
Sebagai cita negara, ia dirumuskan berdasarkan cita yang hidup di dalam masyarakat (volksgeemenshapidee) yang telah ada sebelum negara itu didirikan.
Memang sebelum negara republik Indonesia berdiri, masyarakatnya telah ada sejak berabad-abad silam. Terbentuknya suatu masyarakat pada umumnya terjadi secara alamiah. Masyarakat itu kemudian mengembangkan citanya sendiri, yang berisi cita-cita, harapan-harapan, keinginan-keinginan, norma-norma dan bentuk-bentuk ideal masyarakat yang dicita-citakannya. Cita negara dirumuskan berdasarkan cita yang hidup dalam masyarakat tadi sebagai hasil refleksi filosofis.
Pertanyaan yang mendasar dan ilmiah adalah Apakah pancasila itu sebagai Ideologi ? dan jika sebagai ideologi apakah sebagai ideologi tertutup atau ideologi terbuka dan dimana letak terbukanya ?
Secara wacana akademik istilah ideologi pada walnya digunakan oleh seorang filsuf Prancis, ANTOINE DESTUTT DE TRACY, yang diartikannya “ilmu pengetahuan mengenai gagasan-gagasan (science of ideas). Istilah ini mula-mula mengandung konotasi politik karena penggunaanya berhubungan dengan epistmologi ilmu pengetahuan.
Dalam sejarahnya istilah ideologi baru berhubungan dengan kehidupan politik setelah Napoleon Bonaparte dari Prancis menamakan semua orang yang menentang gagasan-gagasan “patriotic” yang dikemukakannya sebagai kaum “ideologis”. Bagi Napoleon, ideologi adalah pemikiran-pemikiran khayali kaum idealis yang menghalang-halangi pencapaian tujuan-tujuan revolusioner.
Istilah ini semakin popular pada abad pertengahan ke 19 setelah KARL MARX menerbitkan buku German Ideology. Menurut ideologi hanyalah kesadaran yang palsu, ideologi adalah kesadaran sebuah kelas sosial dan ekonomi dalam masyarakat demi mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka.
Dan sejarah mencatat, berbagai akibat yang ditimbulkan oleh ideologi KARL MARX, sejak kemenangan revolusi kaum Bolsjevik di Rusia pada tahun 1926 sampai masa keruntuhan kemunisme pada tahun-tahun belakangan ini.
Kajian komprehensif dari segi sosiologi pengetahuan mengenai ideologi dipelopori oleh KARL MANNHEIM. Tokoh ini menerima dasar pemikiran Karl Max bahwa ideologi adalah “kesadaran kelas”. Mann Heim membuat dua kategori ideologi, yaitu :
Pertama, Ideologi yang bersifat particular
Kedua, Ideologi yang bersifat menyeluruh
Pada kategori pertama dimaksudkannya sebagai keyakinan-keyakinan yang tersusun secara sistimatis dan terkait erat dengan kepentingan suatu kelas sosial dalam masyarakat.
Sedangkan pada kategori kedua diartikannya sebagai suatu system pemikiran yang menyeluruh mengenai semua aspek kehidupan sosial. Ideologi dalam kategori kedua ini bercita-cita melakukan transformasi sosial secara besar-besaran menuju bentuk tertentu. Jadi Mann Heim menganggap ideologi pada kategori kedua ini tetap berada dalam batas-batas yang realistic dan berbeda dengan “utopia” yang hanya berisi gagasan-gagasan besar yang hampir tidak mungkin dapat diwujudkan.
Pertanyaannya adalah apakah pancasila adalah ideologi dalam kategori pertama atau pada ideologi pada kategori kedua ?
Bagi bangsa Indonesia ideologi tentu bukan kesadaran sebuah kelas sebagaimana dipahami KARL MARX. Cara pandang kenegaraan bangsa Indonesia menolak penggunaan analisis kelas karena negara diciptakan untuk semua. Negara mengatasi paham golongan dan paham perseorangan, demikian ditegaskan dalam penjelasan umum UUD 1945, jadi ideologi negara dimaksudkan untuk mengatasi kemungkinan adanya paham golongan-golongan di dalam masyarakat karena keberadaan golongan-golongan itupun diakui oleh ketentuan pasal 2 UUD 1945. penjelasan atas pasal ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan golongan-golongan ialah badan-badan seperti koperasi, serikat sekerja, dan badan-badan kolektif lain.
Dengan demikian dari dua kategori ideologi yang dikemukakan oleh Mann Heim di atas, ideologi pancasila dapat digolongkan sebagai ideologi menyeluruh. Memang lima sila didalam pancasila itu mengandung cirri universal sehingga mungkin saja ia ditemukan dalam gagasan berbagai masyarakat dan bangsa di dunia. Letak kekhasan dan orsinilitasnya sebagai dasar filsafat dan ideologi negara republik Indonesia ialah, kelima sila itu digabungkan dalam kesatuan yang integrative, bulat dan utuh.
Dan sebagai ideologi bersifat menyeluruh, karena pancasila yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat itu, ditafsirkan secara otentik oleh konstitusi / UUD 1945 dalam pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945, oleh karena pancasila sebagai ideologi juga didalamnya sekaligus sebagai cita hukum, artinya pancasila membimbing arah pembentukan hukum dalam masyarakat. Sebagai norma-norma mendasar (staatfundamentalnorm) rumusan pancasila bukan rumusan hukum yang bersifat operasional yang pelaksanaanya dikenakan sanksi. Untuk membuat operasiaonal, negara membentuk berbagai peringkat peraturan perundang-undangan.
Penyelenggara negara dalam mengoperasionalkan ideologi pancasila, maka harus mengacu kepada penafsiran otentik dari pancasila, dan telah menjadi kesepakatan para ahli hukum Indonesia, bahwa pokok-pokok pikiran dalam penjelasan umum pembukaan UUD 1945 adalah tafsir otentik dari pancasila yang dirumuskan atas dasar kesepakatan pendiri negara dan itulah yang kemudian kita sebut PARADIGMA PANCASILA.
Kemudian dimana letak terbukanya sebagai ideologi, hal ini dapat ditelusuri dari pernyataan dalam penjelasan umum, bahwa kita harus ingat dengan dinamika negara dan jangan terlalu cepat membuat kristalisasi terhadap pikiran-pikiran yang mudah berubah.
Contoh yang paling jelas adalah tentang konsep negara hukum yang dianut oleh negara republik Indonesia didalam kontitusinya didasari dengan satu paradigma yaitu dengan suatu prinsip “semangat para penyelenggara negara itu baik, maka baiklah segalanya”. Bagaimana pijakan berpikirnya, penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna bahwa para penyelenggara negara berkewajiban “memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur”. Kepatuhan terhadap norma-norma moral berbeda dengan kepatuhan terhadap norma-norma hukum, karena sangat bergantung pada keinsafan batin setiap individu dan adanya kontrol yang kuat dari masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan istilah “semangat para penyelenggara negara”.
Keberadaan lembaga kontrol yang terdiri dari masyarakat, para cendikiawan, ulama, tokoh-tokoh masyarakat, dan kalangan pers menjadi sangat penting untuk “mengawasi”, perilaku para lagislator dalam merumuskan norma-norma hukum, maupun prilaku para penyelenggara negara.
Oleh karena itu di era reformasi ini, pancasila sebenarnya dapat dijadikan paradigma reformasi, apabila keberadaaan civil society yang kuat dan berprilaku democrat, egaliter dan manusiawi. Civil society adalah elemen kunci dalam menentukan terwujudnya masyarakat demokratis yang efektif. Civil society mungkin ada tanpa demokrasi, tetapi demokrasi tidak bias ada tanpa civil society yang kuat.
Salah satu parameter civil society yang kuat adalah adanya gerakan masyarakat terhadap tegaknya supremasi hukum didalam negara dmokrasi yang sekaligus negara hukum.
Pertanyaanya adalah dapatkah pancasila sebagai paradigma reformasi hukum ? Jawaban atas pertanyaan ini adalah tergantung pemahaman penyelenggara negara dan pemerintah terhadap konsep negara hukum menurut paradigma UUD 1945.
5. Supremasi Hukum dalam konsep negara hukum “pancasila”
Berbicara tentang supremasi hukum, kita harus berbicara tentang masyarakat dimana hukum itu berlaku baik yang disebut masyarakat nasional maupun internasional. Supremasi hukum didalam masyarakat nasional kita karena didalamnya ada aturan yang disebut hukum. Secara sederhana kita dapat mendefinisikan hukum sebagai aturan tentang tingkah laku manusia dimasyarakat tertentu. Aturan yang disebut hukum tadi akan terkait dengan tindakan manusia atau tingkah laku manusia didalam suatu masyarakat nasional yang mempunyai berbagai macam aspek atau bidang, didalamnya ada bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosial, bidang budaya, pendidikan dan juga keamanan. Didalam berbagai bidang itulah manusia melakukan tingkah laku dan manusia satu dengan yang lain melakukan interaksi dan interaksi itu berjalan secara tertib, maka dibutuhkan aturan yang disebut hukum. Oleh karena itu ketika kita akan berbicara tentang supremasi hukum maka timbul beberapa pertanyaan yang perlu mendapat jawaban secara jelas yaitu apa dimaksud dengan supremasi hukum, untuk apa supremasi hukum itu ditegakkan dan bagaimana caranya supremasi hukum itu bisa diwujudkan. Tetapi kita pertanyaan tadi dialam kehidupan masyarakat nasional pada akhirnya bermuara kepada apa yang disebut terwujudnya negara hukum.
Ketika kita berbicara tentang negara hukum yang disebut supremasi hukum itu tentu saja tidak akan lepas dari konsepsi dasar yang dipakai sebagai landasan untuk menciptakan sebuah negara nasional yang pada tataran kenegaraan dan hukum tertinggi disebut konstitusi atau Undang-undang dasar. Ini merupakan dasar yang bersifat universal yang berlaku pada tiap-tiap negara. Oleh karena itu ketika kita harus berbicara secara kongkrit tentang supremasi hukum di Indonesia pada umumnya dan khususnya Kalimantan Barat pada khususnya, kita tidak bisa lain kecuali kembali harus melihat kembali kepada konstitusi atau UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang berlaku seluruh republik Indonesia.
Jika berbicara dalam tataran koridor konstitusional, maka persoalan supremasi hukum yang hanya mungkin terwujud didalam sebuah masyarakat nasional yang disebut negara hukum konstitusional, yaitu suatu negara dimana setiap tindakan dari penyelenggara negara : pemerintah dan segenap alat perlengkapan negara di pusat dan didaerah terhadap rakyatnya harus berdasarkan atas hukum-hukum yang berlaku yang ditentukan oleh rakyat / wakilnya didalam badan perwakilan rakyat. Dan dalam wacana politik modern, maka dalam paktek negara demokrasi dengan sendirinya negara hukum. Sesuai prinsip kedaulatan rakyat yang ada, didalam negara demokrasi hukum dibuat untuk melindungi hak-hak azasi manusia warga negara, melindungi mereka dari tindakan diluar ketentuan hukum dan untuk mewujudkan tertib sosial dan kepastian hukum serta keadilan sehingga proses politik berjalan secara damai sesuai koridor hukum/konstitusional.
UUD 1945 sebenarnya telah mempunyai ukuran-ukuran dasar yang bisa dipakai untuk mewujudkan negara hukum dimana supremasi hukum akan diwujudkan. Kalau kita pelajari UUD 1945 dengan seksama ada sebuah kalimat dalam kaitan dengan apa disebut negara hukum yang secara jelas disebutkan bahwa “Indonesia adalah negara berdasar atas negara hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka” ini sebenarnya Grundnorm yang telah diberikan oleh Fonding father yang membangun negara ini. Bagaimana kita akan menyusun negara hukum, bagaimana negara hukum itu akan diarahkan, dalam arti untuk apa kita wujudkan negara hukum ini, sekaligus dituntut untuk menegakkan hukum sebagai salah satu piranti yang bisa dipergunakan secara tepat didalam mewujudkan keinginan atau cita-cita bangsa. Formula UUD 1945 tersebut mengandung pengertian dasar bahwa didalam negara yang dibangun oleh rakyat Indonesia ini sebenarnya diakui adanya dua faktor yang terkait dalam mwujudkan negara hukum, yaitu satu factor hukum dan yang kedua factor kekuasaan. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan inkonkreto dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tanpa adanya kekuasaan dan dimanesfestasikan pada adanya apa yang UUD disebut. Kata penyelenggara negara di bidang Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Sebaliknya pembentukan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan sama sekali tidak boleh meninggalkan factor hukum tersebut oleh karena hukum yang berupa Grundnorm dalam UUD 1945 ini memberikan dasar terhadap terbentuknya kekuasaan yaitu kedaulatan rakyat. Artinya rakyat yang berdaulat bukan negara yang berdaulat dan hukum juga memberikan dasar terhadap penggunaan kekuasaan tersebut hingga penggunaan kekuasaan yang ada pada negara tidak boleh diterapkan semena-mena tanpa ada dasar hukumnya yang jelas. Dengan demikian maka kekuasaan yang ada pada negara pada saat diterapkan harus menghormati kewenangan-kewenangan yang sifat terbatas diberikan kepada aparat negara. Begitu juga hukumlah yang menentukan arah kemana kekuasaan negara itu dipergunakan dan menentukan tujuan-tujuan apa yang hendak dicapai dengan menggunakan kekuasaan tersebut. Yang idak boleh dilupakan adalah bahwa hukum tidak hanya memberi dasar, tidak hanya memberi arah, tidak hanya menentukan tujuan, tetapi hukum juga menentukan cara atau prosedur bagaimana kekuasaan itu diterapkan didalam praktek penyelenggaraan negara.
Dengan demikian dua factor hukum dan kekuasaan, tidak bisa dilepaskan satu sama lain, bagaikan lokomotif dan relnya serta gerbong yang ditarik lokomotif. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan bahkan lumpuh tanpa adanya dukungan kekuasaan. Ebaliknya kekuasaan sama sekali tidak boleh meninggalkan hukum, oleh karena apabila kekuasaan dibangun dan tanpa mengindahkan hukum, yang terjadi adalah satu negara yang otoriter. Fungsi kekuasaan pada hakekatnya adalah memberikan dinamika terhadap kehidupan hukum dan kenegaraan sesuai norma-norma dasar atau grundnorm yang dituangkan dalam UUD 1945 dan kemudian dielaborasi lebih lanjut secara betul dalam hirarki perundang-undangan yang jelas.
Jika dipahami dengan benar pemahaman dan norma ini sebenarnya secara konsepsional Indonesia memiliki landasan yang kuat untuk mewujudkan negara hukum konstitusional yang demokratis dan dengan dengan demikian secara konsepsiaonal supremasi hukum telah dijamin eksistensinya oleh UUD 1945. Artinya secara implementasi pemecahan-pemecahan segala dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain menggunakan legal approach dan apabila mau menggunakan pendekatan kekuasaan itu harus didasarkan atas hukum.
Dan memang setiap transisi dalam demokrasi pasti memiliki masalah khusus. Masalah yang pokok terutama terkait dengan (1) kultur politik dan juga (2) struktur politik. Demokrasi memerlukan adanya kultur dan struktur yang mendukung proses-proses demokratisasi. Dua hal ini biasanya belum terbentuk dengan baik dalam masyarkat transisi, seperti Indonesia saat ini, atau Kal-Bar khusus saat ini. Di Indonesia, pasca orde baru, belum ada kultur demokrasi yang kuat (misalnya tradisi berbeda pendapat, toleransi, dialog terbuka, tradisi melakukan advokasi, prilaku yang menjunjung hukum dan moral religius dalam menghadapi persoalan secara jernih). Struktur politik yang ada saat ini juga belum cukup demokratis, karena diperlukan adanya perubahan structural yang harus diawali dengan perubahan atau amandemen UUD 1945 dan atau produk-produk hukum yang bertipe represif, ke arah otonom, dan bertipe responsive.
Dengan dmkian demokrasi modern selalu hadir dalam wadah negara hukum, sehingga sering disebut sebagai negara hukum konstitusional. Ciri yang mendasar dari demokrasi kontitusional yang demokratis adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. pembatasan-pembatasan atas kekuasan pemerintah tercantum dalam konstitusi, sehingga sering disbut “pemerintah berdasar atas konsttusi” (constitutional goverment), yang juga sama dengan limited government atau restrained government.
Kemudian dimana letak kaitan pancasila sebagai ideology dengan supremasi hukum ?
Supremasi hukum baru dapat ditegakkan apabilapara penyeleggara negara berprilaku democrat, egaliter dan manusiawi yang dijiawai oleh nilai-nilai ideology pancasila, artinya letak persoalan pokoknya belum tegaknya supremasi hukum bukan pada konsepsi negara hukumnya, bukan konsepsi dasar ideology negara pancasila yang tidak bisa memenuhi tantangan jaman, tetapi terletak pada praktek penyelenggara negara disemua bidang yang telah meninggalkan unsur-unsur iotanamkan oleh UUD 1945, yaitu semangat penyelenggara negara. Terutama butir 4 dari pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam pembukaanUUD 1945 yang mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah dan lain-lain penyeleggara negara untuk budi pekerti kemanusiaan yang luhur dengan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, yang digali berdasarkan nilai-nilai ketuhan yang maha esa (moral religius), nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab (harkat dan martabat manusia dan hakhak azasi manusia), nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai-nilai kerakyatan dan prisip musyawarah mufakat, prinsip perwakilan, dan nilai-nilai keadilan kebenaran untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Daftar Kepustakaan
1 Drs. Kaelan, MS, Pendidikan Pancasila, 1999
2 DR Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Isani Press, 1996
3 Heri Hanwari AIS, Filsafat Pancasila, 1996
4 M. Nur Khoiron dkk, Pendidikan Politik Bagi Warga Negara (Tawaran operasional dan kerangka kerja), LKIS. 1999
5 Umaruddin Masdar dkk, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, LKIS 1999
6 Turiman, SH Mhum, Menegakan Supremasi Hukum dan Demokrasi di Kalimantan Barat, 2000
7 Asia DHRRA Secretariat, The Impact of Globalization of the Social Cultural Lives of Grassroots People in Asia, Grasindo, 1998